Sederet Kontroversi Edhy Prabowo Selama 100 Hari Kerja Gantikan Susi

Sederet Kontroversi Edhy Prabowo Selama 100 Hari Kerja Gantikan Susi

Berita Kontroversi, Masa pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin menginjak 100 hari pada Senin (27/1/2020) kemarin. Salah satu anggota Kabinet Indonesia Maju yang kerap jadi sorotan adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Selama masa 100 hari kerja pula, sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan. Sepak terjang menteri dari unsur Partai Gerindra ini tak jarang menuai pro dan kontra, Edhy berencana merevisi sejumlah regulasi yang dikeluarkan Menteri KKP pendahulunya, Susi Pudjiastuti.

Berikut deretan kontroversi kebijakan selama Edhy menjabat sebagai Menteri KKP periode 2019-2024. Beberapa kebijakannya tersebut masih dalam pembahasan sebelum dikeluarkan aturan pengganti regulasi sebelumnya.

  1. Buka Larangan Ekspor Lobster Rencana Edhy Prabowo merevisi aturan larangan penangkapan dan ekspor benih lobster menuai banyak tentangan.Saat Menteri KKP masih dijabat Susi Pudjiastuti, terbit Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016, tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Aturan inilah yang mau direvisi oleh Edhy.

    Dia ini beralasan, dengan membebaskan ekspor benih lobster dengan ketetapan aturan, maka akan menurunkan nilai jual dari ekspor ilegal. Edhy menyatakan, dengan membuka keran ekspor benih lobster dengan terstruktur akan meningkatkan nilai tambah masyarakat yang hidupnya bergantung pada penjualan benih lobster. Vietnam sendiri jadi negara tujuan ekspor terbesar benih lobster dari Indonesia.

    Di sisi lain, negara ini juga jadi pengekspor lobster terbesar di dunia, dimana sebagian benihnya didapat dari laut Indonesia. Perlunya revisi larangan ekspor benih lobster dilakukan karena ada permintaan yang tinggi dari Vietnam, selain memang marak penyelundupan selama kebijakan pelarangan ekspor.

  2. Tinggalkan Kebijakan Penenggelaman Kapal Rencana menghapus hukuman penenggelaman kapal juga tengah jadi pertimbangan Edhy. Edhy mengatakan, kapal yang harus ditenggelamkan hanya kapal pencuri ikan yang melarikan diri saat disergap.
    Adapun kapal yang ditangkap dan perkaranya mendapat putusan hukum tetap lebih baik diserahkan kepada nelayan untuk dimanfaatkan. Menurut Edhy, semangat penenggelaman kapal adalah menjaga kedaulatan. Kebijakan itu baik, tetapi tidak cukup untuk memperbaiki pengelolaan laut.Yang diperlukan saat ini adalah membangun komunikasi dengan nelayan, memperbaiki birokrasi perizinan, meningkatkan budidaya perikanan. “Kalau hanya sekedar menenggelamkan, kecil buat saya. Bukannya saya takut, enggak ada (takut-takutan).

    Kita enggak pernah takut dengan nelayan asing. Tapi jangan juga semena-mena sama nelayan kita sendiri,” kata Edhy di Menara Kadin, Jakarta, Senin (18/11/2019). Alih-alih menenggelamkan, Edhy justru akan menghibahkan kapal-kapal ikan kepada nelayan sesuai kemampuannya.

  3. Membolehkan Cantrang Edhy mengaku telah bertekad bulat untuk mengkaji ulang larangan penggunaan cantrang. Sebelumnya, larangan cantrang dan 16 alat tangkap yang dianggap merusak lingkungan lainnya mulai diberlakukan tahun 2018.Larangan alat tangkap cantrang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) KP Nomor 2 Tahun 2015 dan Permen KP Nomor 71 Tahun 2016. “Wacana cantrang ini lagi dikaji. Sedang berjalan, kita dengarkan semua (pihak),” kata Edhy Prabowo di atas Kapal Pengawas Perikanan menuju Muara Baru, Jakarta, Senin (28/10/2019).

    Edhy mengaku, ada sejumlah pihak yang mengklaim penggunaan cantrang tidak merusak lingkungan. Sebab, penangkapan menggunakan cantrang hanya digunakan di laut berdasar pasir maupun berlumpur, bukan di laut berterumbu karang.

    Menurut pendapat tersebut, penggunaan cantrang di laut berterumbu karang justru akan merobek cantrang tersebut, bukan merusak terumbu karangnya. “Ada yang ngomong cantrang benar. ‘Maaf, kata siapa cantrang enggak benar? Mana mungkin, Pak, saya punya alat tangkap (cantrang) mau taruh di terumbu karang. Ya robek, lah.

    Cantrang nangkap untuk dasar laut yang berlumpur saja’ katanya,” ucap Edhy. Terkait cantrang, demikian Edhy, ada beberapa kemungkinan, yaitu diperbolehkan, diperbolehkan dengan catatan khusus, atau tetap dilarang.

  4. Impor Garam Kebijakan Edhy membuka impor garam dilakukan karena alasan keterpaksaan. Sebab, hingga saat ini kemampuan produksi garam domestik belum bisa memenuhi kebutuhan industri. “Pada akhirnya, impor itu suatu keterpaksaan.

    Bukan suatu keharusan. Kalau dalam negeri ada, tentunya tidak akan ada serapan (impor),” ujar Edhy ketika ditemui usai melakukan rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/11/2019).

    Edhy pun mengatakan, salah satu jenis garam industri yang masih belum bisa dipenuhi oleh produsen dalam negeri adalah yang mengandung chlor alkali plant (CAP). Untuk itu, pemerintah saat ini tengah menyiapkan lahan sebesar 400 hektare di Nusa Tenggara Timur untuk pengadaan garam jenis tersebut. “Kalau ini sudah produksi, harusnya garam-garam kita dalam negeri kita bisa (memenuhi kebutuhan).

Ada semangat tadi bahwa impor itu dilakukan kalau terpaksa,” kata dia. “Terus terang kalau dari kebutuhan nasional kemampuan kita untuk melakukan produksi garam masih ya bisa dibilang setengahnya. Nah ini yang harus kita dorong. Ini kami cari cara untuk jalan keluarnya bagaimana para petambak garam penghasilannya baik,” jelas Edhy. dikutip dari KOMPAS.com